Tauhid uluhiyah -disebut juga tauhid dalam hal keinginan dan tuntutan- adalah mengesakan Allah dalam segala bentuk ibadah. Memurnikan ibadah-ibadah itu untuk Allah semata secara lahir dan batin (lihat It-hafu Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah, hal. 53)
Tauhid uluhiyah ini juga disebut dengan istilah tauhid fi’li (tauhid dalam hal perbuatan) disebabkan ia mencakup perbuatan hati dan anggota badan. Maka, tauhid uluhiyah itu adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan hamba (lihat It-hafu Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah, hal. 54)
Tauhid inilah jenis tauhid yang paling agung. Tauhid yang paling penting. Tauhid ini pun telah mencakup jenis-jenis tauhid yang lainnya -yaitu tauhid rububiyah dan asma’ wa shifat, pent-. Tauhid inilah yang menjadi tujuan penciptaan jin dan manusia serta misi dakwah para rasul. Tauhid inilah yang menjadi muatan pokok kitab-kitab yang diturunkan Allah. Di atas perkara tauhid inilah ditegakkan hisab kelak di akhirat. Disebabkan persoalan tauhid inilah orang akan masuk surga atau neraka. Dan dalam hal tauhid inilah akan terjadi persengketaan antara para rasul dengan umat-umatnya kelak di hari kiamat (lihat It-hafu Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah, hal. 54)
Hikmah dan tujuan diciptakannya jin dan manusia adalah untuk beribadah yaitu dengan mewujudkan maksud dari kalimat tauhid laa ilaha illallah. Makna laa ilaha illallah adalah tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Inilah tujuan utama dari ibadah (lihat It-hafu Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah, hal. 56).
Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)
Allah berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut..” (an-Nahl : 36)
Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan untuk-Nya agama/amal dengan hanif..” (al-Bayyinah : 5)
Allah berfirman (yang artinya), “Rabbmu memerintahkan bahwa janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya…” (al-Israa’ : 23)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, bahwa uluhiyah maknanya adalah beribadah kepada Allah dengan mencintai-Nya, takut dan berharap kepada-Nya, menaati perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Oleh sebab itu tauhid uluhiyah artinya mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba yang telah disyari’atkan oleh-Nya bagi mereka (lihat at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah, hal. 28-29)
Tauhid uluhiyah inilah yang ditolak dan diingkari oleh kaum musyrikin di kala itu. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan mereka pun terheran-heran ketika datang seorang pemberi peringatan dari kalangan mereka. Orang-orang kafir itu mengatakan, ‘Ini adalah seorang penyihir lagi pendusta. Apakah dia -Muhammad- hendak menjadikan ilah-ilah (sesembahan-sesembahan) ini hanya tersisa menjadi satu sesembahan saja. Sungguh ini adalah perkara yang sangat mengherankan.’.” (Shaad : 4-5) (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah yang disebutkan dalam ar-Riyadh an-Nadiyah, hal. 19)
Ibadah itu mencakup segala hal yang diperintahkan maupun larangan yang ada di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Perintah dikerjakan sedangkan larangan ditinggalkan. Baik perintah itu bersifat wajib atau mustahab/sunnah. Demikian pula larangan yang bersifat haram ataupun makruh. Oleh sebab itu ibadah meliputi segala yang dicintai Allah berupa ucapan dan perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi (lihat Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, hal. 10)
Semua bentuk ibadah baik lahir maupun batin harus memenuhi dua syarat yaitu ikhlas dan mutaba’ah/sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga setiap amalan yang tidak ikhlas untuk mencari wajah Allah maka itu adalah batil. Demikian pula setiap amalan yang tidak sesuai dengan ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tertolak. Amalan yang memenuhi kedua syarat inilah yang diterima di sisi Allah (lihat ad-Durrah al-Fakhirah, hal. 15)
Kedua syarat ini telah tercakup di dalam ayat (yang artinya), “Benar, barangsiapa yang memasrahkan wajahnya kepada Allah dalam keadaan dia berbuat ihsan/kebaikan, maka baginya pahala di sisi Rabbnya, dan mereka tidak akan takut ataupun bersedih.” (al-Baqarah : 112). Kalimat ‘memasrahkan wajahnya kepada Allah’ artinya niat dan keinginannya semata-mata untuk Allah; yaitu dia mengikhlaskan ibadahnya untuk Allah. Adapun ‘dia berbuat ihsan’ maksudnya adalah mengikuti tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjauhi bid’ah (lihat at-Ta’liq al-Mukhtashar ‘ala al-Qashidah an-Nuniyah, 2/824-825)
Dengan demikian hakikat amal salih itu adalah yang ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah disebut sebagai amal salih yang sebenarnya kecuali apabila memenuhi kedua syarat ini. Dikarenakan begitu pentingnya ikhlas dalam beribadah maka Allah menegaskan hal itu secara khusus dalam firman-Nya (yang artinya), “Hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Dan ketika jelas bagi kita bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb, pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta ini maka tidak layak Allah dipersekutukan dalam hal ibadah dengan siapa pun juga (lihat Tafsir Surah al-Kahfi, hal. 153)
Referensi :
It-hafu Dzawil ‘Uqul ar-Rasyidah bi Syarhil Bidayah fil ‘Aqidah karya Syaikh Aiman bin ‘Ali Musa hafizhahullah. Kata pengantar : Syaikh Wahid Abdussalam Bali dan Syaikh Abu Bakr al-Hanbali hafizhahumallah. Penerbit : Dar Ibnu Rajab, cet I. 1435 H
at-Ta’liqat al-Mukhtasharah ‘alal ‘Aqidah ath-Thahawiyah karya Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah. Penerbit : Dar al-‘Ashimah
ar-Riyadh an-Nadiyah min Durari Ifadat ‘Ulama ad-Da’wah as-Salafiyah ‘ala Matn al-‘Aqidah ath-Thahawiyah yang disusun oleh Syaikh Ali bin Hasan al-Atsari hafizhahullah. Penerbit : Maktabah al-Furqan, 1425 H.
Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah karya Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah ar-Rajihi hafizhahullah. Penerbit : Dar at-Tauhid lin Nasyr, cet I 1434 H.
ad-Durrah al-Fakhirah fit Ta’liq ‘ala Manzhumah as-Sair ila Allah wad Daril Akhirah karya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah. Editor : Syaikh Ali bin Hasan al-Atsari hafizhahullah. Penerbit : Dar Ibnu ‘Affan, cet I 1422 H.
at-Ta’liq al-Mukhtashar ‘ala al-Qashidah an-Nuniyah karya Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah.
Tafsir Surah al-Kahfi karya Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah. Penerbit : Dar Ibnul Jauzi cet I. 1423 H.
—